Bisnis Minuman Boba Mulai Merosot di China? Ini Penyebabnya!
JAKARTA - Sejak diciptakan di Taiwan pada era 1980-an, minuman teh boba telah berkembang pesat hingga menjadi tren dunia. Kalau Anda bertanya kepada siapapun yang berusia 40 tahun ke bawah, kemungkinan besar mereka sudah pernah mencicipi minuman teh susu dengan bola-bola tapioka alias boba.
Teh boba telah menjadi minuman favorit bagi kebanyakan pecinta minuman manis. Namun, sepertinya minuman itu kurang diminati investor.
Nilai saham dua perusahaan pembuat minuman boba berbasis China anjlok saat peluncuran perdana di bursa saham. Padahal masih ada dua perusahaan serupa yang hendak memasuki pasar saham.
Meski begitu, minuman boba masih terus diminati oleh khalayak global sejak popularitasnya menyebar dari Asia ke negara-negara Barat.
Mengapa diminati?
Diperkirakan ada sekitar 50 juta toko penjual minuman boba di China saja – sebuah pasar besar bagi minuman manis itu, yang letaknya tidak jauh dari asal minuman boba, yakni Taiwan.
Lili, seorang dosen muda berusia 30 tahunan, yang tinggal di kota Guangzhou, China selatan, pertama kali mencicipi minuman boba saat ia duduk di bangku sekolah dasar.
Sekarang, ia tidak bisa bertahan lama tanpa meminum teh boba.
“Teh boba adalah hiburan yang mudah didapat, jadi saya cukup sering meminumnya,” kata Lili.
Tina, seorang pekerja kantoran dari Beijing yang juga berusia 30-an tahun, memiliki pendapat serupa.
Ia pernah mencoba minuman boba saat ia masih kecil. Sekarang, ia meminumnya beberapa kali dalam sepekan.
Tina sering memesan minuman boba bersama-sama dengan rekan kerja dan teman-temannya dari beragam toko minuman boba terkenal di China.
Lili, Tina dan jutaan orang lainnya telah menumbuhkan bisnis teh boba China hingga menjadi industri berskala nasional yang keuntungannya bisa mencapai 145 miliar yuan (sekitar Rp 320 triliun), menurut estimasi Asosiasi Perusahaan Waralaba & Toko Cabang China.
“Rasa dan resep baru terus diluncurkan secara konstan,” kata Jason Yu, analis dari tim peneliti konsumer di Kantar Worldpanel.
Strategi inilah yang membuat Lili tertarik. Ia mengatakan “kampanye promosi, kolaborasi merek dan rasa-rasa baru” membuatnya terus membeli.
Pendekatan tersebut juga membantu toko-toko cabang minuman boba terus meluas hingga melampaui kota-kota besar China, kata Yu.
Keberhasilan ini terus berlanjut, bahkan saat pertumbuhan ekonomi China melambat dan konsumen mulai menghemat.
Saham boba China 'berjatuhan'
Minuman boba mampu “menyediakan kebahagiaan murah bagi konsumen di China,” kata Yu. Ia merujuk pada “variasi kisaran harga” dari produk-produk yang ditawarkan oleh berbagai macam toko minuman boba.
Namun, beberapa investor belum memiliki ketertarikan yang sama terhadap minuman boba.
Demi meraup keuntungan dari tren yang meluas, beberapa perusahaan minuman boba mulai menjual saham di pasar selama beberapa tahun terakhir.
Bulan lalu, perusahaan minuman boba terbesar ketiga di China, Sichuan Baicha Baidao Industrial, atau dikenal sebagai Chabaidao, meluncurkan sahamnya di pasar untuk pertama kali.
Tetapi harga sahamnya jatuh pada hari pertama penjualan dan sejak itu tidak pernah pulih.
Saham perusahaan boba lain, Nayuki yang berbasis Shenzen, juga anjlok pada hari peluncurannya. Nilai saham Nayuki telah turun lebih dari 80% sejak peluncurannya di Hong Kong hampir tiga tahun yang lalu.
Para analis menggarisbawahi beberapa faktor yang mengakibatkan menurunnya nilai saham perusahaan boba, termasuk kekhawatiran yang ada di pasar saham Hong Kong secara umum.
Nilai keuntungan dari peluncuran-peluncuran saham di kota itu kian menurun sejak awal tahun ini, hingga mencapai tingkat terendah sejak 2009 silam, menurut perusahaan konsultan Deloitte.
Meski begitu, hal ini tidak membuat perusahaan-perusahaan minuman boba enggan untuk menjual sahamnya.
Awal tahun ini, perusahaan minuman China terbesar pertama dan kedua berdasarkan jumlah cabang, Grup Mixue dan Guming, mengirimkan aplikasi untuk mendaftar dalam Bursa Efek Hong Kong.
"Sentimen pasar yang melemah di Hong Kong menjadi alasan utama” jatuhnya Chabaidao di pasar saham, kata Gary Ng, ekonom senior dari Natixis.
Analis lain menyatakan kini para investor sedang fokus pada masalah-masalah di dalam industri minuman boba itu sendiri.
“[Industri minuman boba] mudah untuk dipenetrasi, sehingga semakin banyak pesaing baru yang bermunculan,” kata Kenny Ng, ahli strategi sekuritas dari Everbright Securities International.
“Banyak perusahaan membuka toko baru untuk mempertahankan pendapatan. Namun, strategi perluasan ini dapat mengarah pada menurunnya margin laba kotor karena perusahaan berhadapan dengan meningkatnya biaya operasional dan manajemen toko.”
Han adalah seorang perempuan dari Beijing yang meminum boba secara reguler. Ia mengaku dulu enggan membeli dari merek-merek boba yang ia anggap premium karena harga yang terlalu tinggi.
Pandangannya kini telah berubah. Harga tidak lagi ia jadikan tolak ukur dalam memilih merek minuman boba karena “mereka menawarkan banyak diskon dan voucher.“
Namun bagi penjual minuman boba dan investor-investornya, harga murah dengan biaya operasional yang mahal, sulit untuk mendatangkan keuntungan.
“Kasus Chabaido menunjukkan risikonya dan menjadi pertanda buruk bagi perusahaan-perusahaan minuman boba lain yang ingin mendaftar,“ ucap Gary Ng.
Lili dan Han mengatakan ada risiko besar lain berkaitan dengan minuman penuh gula itu yang membuat mereka menahan diri dari membelinya, yakni bertambahnya berat badan. (BBCIndonesia/01)
- 4 views
Leave a Reply