Disrupsi Bisnis Logistik, ke Depan Lebih Baik Berkolaborasi
Pandemi Covid-19 berdampak besar terhadap dunia usaha. Hampir semua sektor luluh-lantak dihantam pandemi. Untuk bisa survive, para pengusaha mau tidak mau harus menyesuaikan strategi bisnisnya dengan kondisi pandemi. Apa saja yang harus dilakukan?
Selama pandemi, sektor transportasi (forwarding) yang menjadi mata rantai logistik memang mengalami penurunan omset cukup dalam. Hal ini bisa dilihat di lapangan truk-truk angkutan barang semakin sedikit yang beroperasi.
Kalau toh ada yang beroperasi, masih tidak mampu menutupi penurunan dari biaya perusahaan. Mereka melakukan itu semata-mata hanya sebagai upaya menjaga hubungan baik dengan relasi atau bertahan (survive) dari ancaman kebangkrutan.
Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) pada kuartal III tahun lalu menyebut pihaknya mengalami kontraksi yang begitu tajam karena hanya sekitar 40% armada dari sekitar 43.000 unit truk yang beroperasi selama pandemi ini.
Dewan Pimpinan Pusat Aptrindo, Gemilang Tarigan, menilai, hal ini turut menekan omset hingga menurun 90% sehingga membuat beberapa perusahaan sampai mengalami kesulitan membayar kredit truk.
“Padahal industri logistik khusus truk bisa tumbuh 15,2% pada 2019 lalu,” kata Gemilang dalam acara The 2nd MarkPlus Industry Roundtable Logistics Industry Perspective pada Selasa (20/10) yang digelar virtual.
Aptrindo sedang mengusahakan untuk berkolaborasi dengan platform warehousing, transportasi, menerapkan single stakeholder profile secara terbatas, perluasan penerapan Integrated Single Risk Management (ISRM), hingga kolaborasi Inaportnet ke dalam portal Indonesia National Single Window (INSW) yang juga sedang diusahakan oleh Kemenhub.
Ketua Bidang Angkutan Multimoda Organda Ivan Kamadjaja menuturkan secara umum masih terjadi penurunan 50-60 persen pada angkutan logistik lintas sektoral baik dari lintas industrinya maupun lintas moda angkutannya.
“Beberapa pemain logistik bisa lebih bertahan, tapi bergantung sektor yang dilayani. Kami juga melihat pangsa pasar mengecil, akibat dari pelemahan daya beli masyarakat, dampak pandemi juga banyak usaha tak bisa meneruskan usaha,” ujarnya dalam diskusi virtual yang diadakan Bisnis Indonesia.
Ivan melihat peningkatan permintaan di pasar cenderung hanya pada jenis barang tertentu saja, seperti produk fast moving consumer goods ( FMCG), kesehatan, dan makanan. Ada pun, pertumbuhan permintaan aktivitas logistik dari sektor dagang elektronik pun terbatas karena terkait turun daya beli dan barang yang permintaannya berjalan hanya jenis barang tertentu.
Bangkitnya Logistik Digital
Ternyata, di saat sektor forwarding terpuruk, sektor logistik dan kurir justru mengalami lonjakan. Salah satu pemicunya adalah meningkatnya aktivitas digital masyarakat saat pandemi termasuk di dalamnya belanja online atau daring. Aktivitas ini yang mendongkrak sektor logistik dan jasa pengiriman.
Data Kementerian Keuangan menyebutkan segmen logistik relatif stabil selama pandemi covid-19. Bahkan, transaksi pembelian lewat e-commerce meningkat 18,1 persen menjadi 98,3 juta transaksi dengan total nilai transaksi naik 9,9 persen menjadi Rp20,7 triliun.
Ketua DPP Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Yukki Nugrahawan Hanafi membenarkan kegiatan logistik yang masih dapat bertahan bahkan mengalami pertumbuhan positif adalah layanan logistik e-commerce dan layanan pengiriman barang (courier service).
Yukki membenarkan jenis kegiatan logistik yang cukup terpuruk dan terdampak berat di masa pandemi Covid-19 ini yakni jasa angkutan barang moda udara, laut, truk peti kemas, truk ekspor impor, bahan baku industri manufaktur, bongkar muat, jasa kegiatan customs dan port clearance, depo peti kemas, jasa pergudangan bahan baku impor dan berikat, serta kegiata logistik yang transaksinya bisnis ke bisnis (BtoB).
"Dengan demikian, kolaborasi penting, termasuk bidang bisnis logistik perlu membuka diri, mereformasi struktural, strategi baru dan visi misi baru, adopsi teknologi," katanya.
Pemulihan bisnis logistik pasca pandemi Covid-19 akan berlangsung secara sektoral. Beberapa melaju positif di tengah pandemi dan Semester II/2020, sementara beberapa lainnya perlu berjuang keras.
Yukki N. Hanafi mengatakan kejadian luar biasa pandemi ini sangat berbeda dibandingkan dengan krisis pandemi 100 tahun lalu.
Pengamat ekonomi Chatib Basri melihat ekonomi Indonesia diperkirakan akan bangkit di tahun 2021 seiring dengan dimulainya kegiatan vaksinasi COVID-19. Menurut pandangannya sampai dengan kuartal II 2021 ekonomi masih terpengaruh dampak dari COVID-19, namun sejumlah sektor usaha sudah mulai bangkit.
Pendapat senada juga disampaikan Iman Sjafei yang melihat tahun 2021 sebagai peluang serta sudah saatnya untuk mulai membenahi infrastruktur termasuk yang dibutuhkan saat ini adalah kesiapan teknologi informasi (TI).
Hal ini dibutuhkan sebagai antisipasi rampungnya infrastruktur yang dibangun pemerintah sehingga kian mempercepat mobilisasi barang.
Dia mencontohkan hadirnya tol laut, tol Trans Jawa, dan serta jalan tol di sejumlah daerah di Indonesia akan membuat pengiriman semakin dapat diprediksi.
Salah satu teknologi yang telah diterapkan adalah GPS Tracking sehingga armada yang tengah mengirimkan barang dapat terlacak keberadaannya, termasuk kalau barang itu sudah sampai tujuan.
Kehadiran teknologi itu untuk memudahkan untuk mengirim bantuan dari lokasi terdekat apabila terjadi gangguan dalam perjalanan misalnya saja kerusakan mesin.
Bahkan dari kalangan asosiasi melihat dari segi efisiensi perusahaan- perusahaan di Indonesia jauh lebih kompetitif dibandingkan dengan negara-negara seperti Amerika bahkan Singapura sekalipun.
Hal itu bisa diukur dari besaran tarif dengan jarak tempuh sepanjang 800 kilometer, tarif di Indonesia masih jauh lebih murah dibanding kedua negara tersebut.
Berkolaboratif Lebih Baik
Dalam menghadapi tatanan kehidupan baru, menurut Yukki N. Hanafi masing-masing jangan menonjolkan sifat keakuan yang sudah tak tepat lagi sekalipun itu memiliki keunggulan komparatif.
Berbeda dengan masa lalu, di mana kompetisi sangat kental, sekarang semua harus bekerja sama. “Kata kuncinya adalah collaboration is better than competition,” kata Yukki NH seperti dilansir Investor Daily.
Lebih lanjut dikatakannya, pandemi benar-benar telah memukul sektor logistik Indonesia. Bahasa yang Hanafi pakai adalah dramatic decline, yaitu sebuah penurunan pada industri logistik yang belum pernah terjadi sejak Perang Dunia II.
Menurutnya, hubungan antara sektor logistik dengan industri saat ini sangat kuat. Jika ada penurunan atau kenaikan aktivitas industri, aktivitas logistik secara otomatis akan mengalami penurunan atau kenaikan yang lebih besar.
Hal ini bisa dilihat ketika banyak negara memberlakukan lockdown, sebagian besar perusahaan manufaktur terpuruk. Beberapa terpaksa ditutup sementara, sementara yang tetap terbuka menghadapi pembatasan dalam mendapatkan pasokan barang dan bahan setengah jadi.
Sektor logistik yang paling terdampak pandemi adalah yang berhubungan dengan komoditas pada kegiatan industri dan ekspor-impor. Pembatasan aktivitas sosial pada masa pandemi Covid-19 di hampir seluruh dunia telah menurunkan supply-demand komoditas.
Pembatasan itu juga mengakibatkan aktivitas produksi sektor industri hulu mengalami penyesuaian dan penurunan kapasitas. Kegiatan logistik yang terdampak berat selama pandemi adalah logistik yang pola transaksi perdagangannya berbasis B to B (business to business). Sedangkan pola transaski B to C (business to consumer) dan C to C (consumer to consumer) kategori ritel masih dapat bertahan, bahkan ada yang mengalami pertumbuhan positif. Kegiatan logistik yang terdampak berat di masa pandemi di antaranya jasa angkutan barang moda udara dan laut hingga jasa angkutan truk peti kemas atau ekspor-impor.
Dari kejadian ini, ke depan perlu melakukan digitalisasi logistik yang terbuka dan mudah. Layanan logistik e-commerce dan layanan pengiriman barang (courier service) bisa bertahan selama pandemi, bahkan tumbuh positif, salah satu pemicunya adalah meningkatnya aktivitas digital masyarakat saat pandemi, termasuk belanja online.
Semua pemangku kepentingan industri logistik menyatakan inilah kunci masa depan logistik Indonesia. Digitalisasi logistik, menurut Yukki, selalu diawali transformasi digital, yaitu adanya perubahan business process yang memajukan nilai faster, better, dan cheaper. Ketiga nilai tersebut akan menciptakan operational excellence, di mana terjadi peningkatan kecepatan, kualitas, dan efisiensi yang diiringi penurunan biaya.
Transformasi digital bukan semata-mata memindahkan proses bisnis manual menjadi digital melalui penerapan sistem tertentu, tapi harus disertai perubahan yang mengedepankan tiga nilai tersebut. Optimalisasi ketiga nilai digitalisasi memerlukan keterlibatan banyak pemangku kepentingan yang tidak terbatas pada keterikatan terhadap suatu platform tertentu saja.
Diperlukan integrasi dalam suatu ecosystem yang memberikan nilai tambah kepada seluruh pemangku kepentingan. Hal ini sejalan dengan Asean Connectivity 2025, di mana nilai utama yang dimajukan adalah seamless logistic guna menurunkan biaya logistik setiap anggota Asean.
Untuk diketahui bersama bahwa memasuki kuartal terakhir 2020, pebisnis logistik dan stakeholders dikejutkan oleh persoalan international shipment yang dipicu kelangkaan peti kemas atau kontainer. Padahal selama ini, international shipment sangat dipengaruhi perdagangan dari dan ke Amerika Serikat (AS). Di sisi lain, angkutan intra-Asia dianggap kurang menguntungkan (shallow margin) sehingga secara urutan daya tarik angkutan adalah menuju AS, Eropa, baru kemudian intra-Asia.
Kelangkaan peti kemas juga dialami sejumlah negara di Asia, termasuk Indonesia, yang salah satunya disebabkan faktor menurunnya perdagangan global. Faktor itu termasuk aktivitas ekspor AS yang mengakibatkan industri shipping global merasionalisasi biaya dengan melakukan pending shipment/omission. Persoalan tersebut semakin rumit tatkala importasi oleh AS tidak diimbangi kegiatan ekspornya, sehingga mengakibatkan peti kemas eks-impor tertahan di negara itu dan terjadi kelangkaan peti kemas secara global, termasuk di Indonesia.
Di sisi lain, wacana intervensi pemerintah untuk mengatasi masalah kelangkaan peti kemas tersebut kurang efektif apabila menggunakan insentif karena memerlukan biaya besar. Pasalnya, kondisi semacam ini secara alami akan normal lagi saat perdagangan dunia pulih kembali sesuai mekanisme pasar. Karena itu, saat ini penting adanya kebijakan reformasi logistik yang dapat dieksekusi secara berkomitmen dan berkesinambungan.
Semua pada akhirnya optimistis, prospek sektor logistik ke depan tetap cerah, meski saat ini tengah pandemi Covid-19.
Ketika wabah ini sudah mulai diatasi, maka sektor logistik diharapkan bisa berlari kencang sehingga secara bersama bisa menopang pertumbuhan ekonomi nasional.
[/Berbagai Sumber/M01)