Sejauh Mana Dampak Aksi Boikot Perang Israel-Palestina terhadap Bisnis Starbucks?
JAKARTA - Aksi boikot terkait Israel-Palestina memang berpengaruh negatif terhadap Starbucks. Namun, ternyata bukan hanya itu masalah yang dihadapi raksasa waralaba kopi ini.
Di luar cabang-cabang gerai kopi Starbucks di Amerika Serikat, para pengunjuk rasa menggelar aksi menuntut gencatan senjata antara Israel dan Hamas.
Pada 7 Oktober 2023, serangan Hamas di Israel selatan menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera 252 orang lainnya. Serangan balasan Israel setidaknya mengakibatkan 36.170 orang tewas di seluruh Gaza, menurut kementerian kesehatan yang dikelola Hamas.
Starbucks adalah satu dari merek asal Amerika Serikat yang menghadapi penolakan atau reaksi keras karena dituduh berafiliasi dengan Israel. Perusahaan waralaba kopi ini menyalahkan kesalahan informasi terhadap pandangannya setelah mengeluarkan pernyataan umum yang mengecam kekerasan di wilayah tersebut.
“Baik Starbucks maupun mantan pemimpin, presiden, dan CEO perusahaan, Howard Schultz, tidak memberikan dukungan finansial kepada pemerintah Israel dan/atau Angkatan Darat Israel dengan cara apa pun,” tulis Starbucks dalam pernyataan resminya pada Oktober 2023 setelah muncul protes.
Namun, analisis Bank of America menyebut seruan boikot Starbucks kian merebak di media sosial pada Januari dan ini terus berlanjut.
Bulan lalu, komedian Youtube Danny Gonzales meminta maaf ke 6,5 juta pengikutnya setelah gelas Starbucks tidak sengaja muncul di salah satu videonya dan menuai protes.
Di AS – yang masih menjadi pasar terbesar dan terpenting Starbucks – penjualan di gerai kopi yang buka minimal satu tahun turun 3%. Angka ini merupakan penurunan terbesar dalam beberapa tahun di luar pandemi dan krisis ekonomi AS pada 2007-2009.
Bahkan sejumlah pelanggan perusahaan yang paling setia mengalami penurunan sebesar 4% dibandingkan dengan kuartal sebelumnya – sesuatu yang jarang terjadi.
Para pejabat eksekutif Starbucks cenderung tidak mengomentari topik boikot saat mendiskusikan penjualan, tetapi Sharon Zackfia, kepala konsumen di perusahaan manajemen investasi William Blair, berkata: “Kepala Anda pasti tenggelam dalam pasir kalau tidak merasa [boikot] memiliki dampak.”
Namun, apakah hanya boikot terkait Israel-Palestina yang mempengaruhi bisnis Starbucks?
Andrew Buckley, 50 tahun, menjuluki dirinya sendiri sebagai “penggemar mocha”. Selama beberapa dekade, minuman cafe mocha ukuran venti menjadi pelepas stresnya saat menjalani pekerjaannya di bidang penjualan IT.
Namun, baru-baru ini dia berhenti mengunjungi Starbucks setelah harga kopi favoritnya baru-baru ini dinaikkan menjadi US$6 (sekitar Rp98.000).
“Saya sudah terganggu dengan inflasi pada umumnya. [Kenaikan harga Starbucks] ini menjadi yang penghabisan. Saya tidak sanggup lagi,” ujar Buckley.
Pelanggan lainnya, David White, mengaku syok melihat kenaikan harga kopi Starbucks dalam beberapa bulan terakhir. Dia bahkan pernah batal membeli di tengah memesan kopi begitu melihat harga di kasir.
Selain kenaikan harga, White juga kesal atas tindakan keras Starbucks terhadap para pekerja yang ingin berserikat.
“Mereka sudah terlalu sombong,” kata pria berusia 65 tahun asal Wisconsin ini. “Mereka terlalu banyak menekan pelanggan sehari-hari dan mengambil keuntungan melalui karyawan dan harga.”
Sementara Andrew Buckley juga merasa terganggu karena Starbucks dikelilingi isu-isu politik.
"Ini adalah kedai kopi. Mereka menyajikan kopi,” katanya. “Saya tidak ingin melihat mereka di berita.”
Anekdot-anekdot ini merupakan pertanda dari masalah yang lebih besar yang dihadapi Starbucks: para pelanggan yang lelah dengan inflasi, perselisihan dengan serikat pekerja, serta seruan boikot terkait Israel-Palestina yang menodai merek tersebut.
Dalam rapat perusahaan baru-baru ini, CEO Starbucks, Laxman Narasimhan, mengakui penjualan mereka baru-baru ini mengecewakan. Selain menyebut adanya pelanggan yang lebih berhati-hati, Narasimhan menyebut “informasi yang keliru baru-baru ini” turut membebani penjualan, terutama isu Timur Tengah.
Narasimhan membela merek Starbucks dan berjanji untuk menggairahkan lagi bisnis mereka dengan menu-menu baru seperti minuman boba dan sandwich telur dengan pesto, layanan yang lebih cepat di toko-toko, dan berbagai promosi.
Kepala keuangan Starbucks, Rachel Ruggeri, mengatakan perusahaan melihat tanda-tanda kebangkitan minggu ini dengan adanya pertumbuhan anggota yang aktif dalam program reward.
Perusahaan tidak berniat untuk mundur dari rencana ekspansinya, tetapi Ruggeri memperingatkan para investor bahwa tantangan-tantangan yang ada tidak akan hilang dengan cepat.
“Kami yakin ini akan memakan waktu,” katanya seperti dilansir BBCNewsIndonesia.com. (01)
- 6 views
Leave a Reply