Lakukan Konsolidasi Kekuasaan Jelang Akhir Jabatan, Pengamat: Makin Perburuk Citra Politik Jokowi

JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) disebut tengah mengkonsolidasikan kekuatannya jelang tahun terakhir kepemimpinannya. Banyak orang dekatnya yang kini memegang posisi-posisi strategis baik di militer maupun jabatan-jabatan sipil.
Sebagai informasi, Jokowi resmi mengusulkan nama Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Agus Subiyanto untuk menjadi calon pengganti Panglima TNI Laksamana Yudo Margono yang akan memasuki masa pensiun pada 26 November 2023. Agus merupakan Komandan Kodim (Dandim) 0735/Surakarta pada 2009-2011.
Saat itu, Jokowi masih menjadi jadi Wali Kota Surakarta dan mereka merupakan bagian Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Solo kala itu.
Sementara itu, diisukan posisi KSAD akan diisi oleh Letjen Maruli Simanjuntak yang merupakan menantu dari orang kepercayaan Jokowi, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan.
Sebelumnya, dua putra Jokowi juga menduduki jabatan politik penting. Putra sulungnya Gibran Rakabuming menjadi cawapres pendamping Prabowo Subianto di Pilpres 2024 sementara putra bungsunya Kaesang Pangarep menjadi ketua umum PSI
"Di tengah sorotan besar tentang dugaan publik atas rekayasa hukum untuk kepentingan politik dinasti Jokowi mencalonkan Gibran dalam pilpres, maka langkah pengangkatan Panglima TNI dan KSAD yang diisukan berasal dari lingkar jaringan Jokowi akan memperburuk citra politik Jokowi dan tentu jika ini benar terjadi, maka akan memperkukuh regresi demokrasi yang terjadi di Indonesia," ujar Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN) Aisah Putri Budiatri kepada Bisnis, Selasa (31/10/2023).
Dia menjelaskan, tidak ada yang salah dengan preferensi pengangkatan seseorang berbasis pengalaman bekerja sama atau kepercayaan. Meski demikian, lanjutnya, prefensi itu menjadi keliru apabila diikuti dua hal.
Pertama, pengalaman kerja sama dan rekomendasi itu hanya menjadi landasan tunggal atau dominan dalam menentukan pejabat publik sehingga tidak berbasis meritokrasi. Kedua, itikad penunjukan posisi jabatan itu tidak didasarkan untuk kepentingan publik namun kepentingan politik personal atau kelompok tertentu yang pragmatis.
"Terkait dengan poin kedua, maka dapat dimaklumi jika ada dugaan bahwa pengangkatan jabatan penting kemudian terkait dengan upaya mengkonsolidasikan kekuatan politik Jokowi untuk pemilu ke depan. Dugaan ini tidak terhindarkan karena publik akan melekatkannya dengan kasus MK lalu yang dinilai sebagai rekayasa hukum sekedar untuk menaikan Gibran dalam pencalonan pilpres," jelas Aisah seperti dilansir Bisnis.com.
Oleh karena itu, lanjutnya, wajar apabila muncul prasangka Jokowi mengangkat orang-orang lingkarnya itu dalam jabatan-jabatan penting untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Aisah pun ingin Jokowi masih mengedepankan etika dan rasional ke depan.
"Saya, dan tentunya publik luas, berharap agar Jokowi menggunakan nalar politiknya dalam kerangka kepentingan publik dan bangsa hingga akhir masa jabatnya, sehingga hal-hal yang tak patut dalam penunjukan jabatan publik dan lainnya dapat ditinggalkan," tutupnya.
Tak Mau Tanggapi Kekecewaan PDIP
Presiden Joko Widodo (Jokowi) memilih tidak mengomentari kekecewaan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) terhadap manuver politik keluarganya.
Sekadar catatan, manuver politik keluarga Jokowi bermula saat putra bungsungnya Kaesang Pangerep menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Puncak manuver keluarga Jokowi tampak ketika ia memberikan restu kepada Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawpares) pendamping Prabowo Subianto.
Jokowi hanya melempar tawa dan mengaku tak ingin mengomentari pernyataan dari partai berlogo moncong banteng putih itu.
“Saya tidak ingin mengomentari,” ujarnya sambil tertawa kecil usai meninjau harga sejumlah komoditas pangan di Pasar Bulan, Kabupaten Gianyar, Bali, Selasa (31/10/2023) dikutip melalui Youtube Sekretariat Presiden (Setpres).
Sebelumnya, PDI Perjuangan (PDIP) sedih dan pasrah atas kondisi politik saat ini yang dinilainya sebagai ketidakpatuhan politik, ditambah dengan rekayasa hukum oleh Mahkamah Konsitusi (MK).
Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan bahwa jajaran anak ranting dan ranting partainya banyak yang tidak memercayai kondisi politik yang saat ini terjadi.
Semoga Sadar dan Kembali ke Hati Rakyat
Sementara itu peneliti dari Pusat Kajian Komunikasi Publik Universitas Trunojoyo Madura Surokim Abdus Salam menilai anggapan tentang Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkena toxic relationship boleh jadi benar adanya.
Penilaian tentang Presiden Ketujuh RI itu terkena toxic relationship Orde Baru atau Orba datang dari politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Aria Bima.
Surokim menuturkan Presiden Jokowi tampak menikmati permainan kekuasaan sehingga tidak sadar telah terseret oleh elite yang membawa kepentingan pragmatis.
“Sepertinya (Jokowi) terlalu larut menikmati permainan kekuasaan elite hingga tak sadar terseret pelan-pelan arus yang membawanya pada pusaran kekuasaan elitis pragmatis,” ujar Surokim saat dihubungi, Selasa (31/10/2023).
Peneliti Surabaya Survey Center (SSC) itu menambahkan seharusnya Presiden Jokowi menjalankan kekuasaan sebagaimana harapan publik.
Kekuasaan yang ada di hati masyarakat bawah, kata Surokim, semestnya menjadi modal bagi Jokowi untuk menjaga muruahnya.
Sayangnya, kata Surokim, mantan wali kota Surakarta itu justru tidak bersikap dan bertindak seperti harapan rakyat bawah. “….pelan-pelan (harapan masyarakat) malah diingkari,” imbuhnnya.
Surokim menambahkan kekuasaan ibarat candu yang membuat pemegangnya kecanduan sehingga mempertahankannya dengan berbagai cara. (Bisnis/JPNN/009)