Skip to main content

Presiden ke Australia Jajaki Kemitraan untuk Pengembangan Mobil Listrik Dunia

HARI Senin (3/7/3023) Presiden Joko Widodo akan melakukan kunjungan ke Australia untuk hadiri Australia-Indonesia Annual Leaders' Meeting ke-8 dengan tuan rumah Perdana Menteri Anthony Albanese.

Ada kemungkinan salah satu topik yang dibahasnya adalah soal kolaborasi terkait transisi energi bersih, tepatnya soal ekosistem kendaraan listrik.

"Sejak COVID, ada diskusi di Indonesia tentang bagaimana memanfaatkan peluang besar kendaraan listrik ini," kata Dr Arianto Patunru, peneliti dari Australia National University seperti dikutip ABC.net.au.

PM Albanese sendiri sudah memberikan pernyataan soal kedatangan Presiden Jokowi ke Sydney.

"Saya dengan senang hati menyambut sahabat saya, Presiden Widodo di Australia. Ini akan menjadi pertemuan keempat kami," katanya.

"Sebagai salah satu tetangga terdekat kita, Australia sedang membangun kerja sama yang luas dengan Indonesia di bidang iklim, pembangunan ekonomi, pendidikan, dan masalah keamanan regional."

Indonesia memiliki cadangan nikel yang sangat besar, dan merupakan produsen bijih nikel terbesar di dunia, tetapi telah melarang ekspor bahan itu.

Nikel dengan tingkat kemurnian yang tinggi adalah komponen utama sel baterai 'lithium-ion' yang digunakan di banyak kendaraan listrik.

Namun, Indonesia perlu mengimpor mineral penting lainnya yang tidak diproduksi secara lokal, seperti litium yang juga digunakan dalam baterai kendaraan listrik yang dimiliki Australia.

"Indonesia memiliki banyak sekali nikel seperti halnya Australia, tetapi kami tidak memiliki litium," kata Dr Patunru.

"Indonesia perlu berkolaborasi dengan negara lain… salah satunya adalah Australia," tambahnya.

Keinginan Indonesia pada litium Australia

Para menteri dan pemimpin bisnis Indonesia, termasuk Menteri Kelautan dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, sudah berulang kali menyuarakan keinginan untuk bermitra dengan Australia untuk mengimpor litium.

Termasuk saat ia berkunjung ke Australia dan menemui PM Albanese Februari lalu.

"Saat ini Indonesia berfokus untuk mengembangkan dan memperluas industri hilir, dalam hal ini industri baterai Lithium sebagai sumber energi kendaraan listrik. Untuk memenuhi target kami menjadi produsen baterai lithium terbesar di dunia, kami berharap dapat meningkatkan impor lithium dari Australia," tulisnya di akun Instagram @luhut.pandjaitan.

Ia juga menemui sejumlah pengusaha litium Australia. "Di hadapan para pengusaha lithium, saya sampaikan bahwa Australia adalah kandidat terbaik dan partner potensial kami untuk mengembangkan Industri Baterai EV [kendaraan listrik] karena setengah dari Lithium dunia ada di negeri Kangguru," tulis Luhut dalam unggahan terpisah.

"Kami sadar bahwa cita-cita menjadi 'raja' baterai kendaraan listrik dunia bukan hal yang mudah. Maka dari itu rasanya perlu memiliki mitra kerjasama yang saling percaya dan mendukung, memberi masukan dalam mewujudkan regulasi yang lebih baik," sambungnya.

Kemungkinan peluang kolaborasi dalam industri kendaraan listrik juga dibahas pada pembicaraan sebelumnya antara Indonesia dan para pemimpin Australia, termasuk saat pertemuan bisnis tingkat tinggi bulan November 2022 di Bali.

"Satu bidang yang [pembicaraannya] berpeluang untuk berkembang dari tahun lalu dan memasuki tahun ini adalah [bidang] di sekitar transisi energi [bersih]," kata Jennifer Mathews, presiden nasional Australian Business Council.

"Kedua negara memiliki komitmen yang cukup mendalam untuk mengurangi emisi, keduanya berkomitmen untuk melakukan target sesuai Perjanjian Paris, atau ada beberapa komitmen bilateral seputar transisi energi hijau," kata Jennifer.

"Peluang nyata dan agenda nyata, khususnya bagi Indonesia, adalah melakukan transisi kendaraannya saat ini menjadi listrik."

China pimpin rantai pasokan global kendaraan listrik

Sementara Indonesia dan Australia berpeluang menjalin kemitraan baru dalam industri kendaraan listrik, para ahli menilai hubungan rantai pasokan apa pun perlu dilihat dalam konteks global.

Sebagian besar litium Australia mengalir ke China, yang sudah berinvestasi besar-besaran dalam transisi energi bersih, termasuk teknologi yang diperlukan untuk memproses litium.

"Setelah proses mencoba-coba dan inovasi, [China] sekarang memiliki keunggulan struktural dibandingkan dengan semua negara lain dalam pemrosesan litium," kata Marina Zhang, seorang profesor di Institut Hubungan Australia-China di University of Technology Sydney.

Dr Zhang, yang meneliti kebijakan kendaraan listrik di China, mengatakan sepuluh tahun yang lalu China "bertaruh mengambil risiko yang besar pada kendaraan listrik", atas opsi investasi hidrogen bersih, pertaruhan besar yang sekarang membuahkan hasil.

"China menghabiskan banyak uang untuk memberikan subsidi pemasok dan pembeli untuk mengembangkan pasar ini," kata Dr Zhang. (ABC.net.au/Indonesia/009)